• Sejarah dan Tujuan Pemberian Anak Jawi oleh Induak Bako pada Anak Bako dalam Upacara Perkawinan di Kecamatan IV Koto Aur Malintang Kab. Padang Pariaman

     

     

    “Sejarah dan Tujuan Pemberian Anak Jawi oleh Induak Bako pada Anak Bako dalam Upacara Perkawinan di Kecamatan IV Koto Aur Malintang Kab. Padang Pariaman”

     

    Oleh Al Hafid

    Mahasiswa jurusan sastra minangkabau 2017


             

    Minangkabau adalah etnis yang memiliki peradapan yang cukup tinggi, hal ini dapat kita lihat dari kebudayaannya dalam menjalin hubungannya dengan lingkungan dan keluarga kerabatnya. Kebudayaan yang menghasilkan sebuah tradisi bagaimana mempererat tali silaturahmi dengan masyarakat terutama dengan keluarga yang memiliki tali kekerabatan. Peristiwa yang tepat untuk menjalin silaturahmi tersebut yaitu ada pada upacara tradisi di minangkabau, salahsatunya adalah pada saat upacara perkawinan.

    Dalam masyarakat Minangkabau hubungan dengan orang yang memiliki tali kekerabatan sangatlah dijaga. Sesuai dengan falsafah orang Minangkabau yang diabadikan pada ukiran aka cino yang ada di dinding rumah gadang. Ukiran aka cino yang terinspirasi dari tumbuhan akar cina yang merambat tanpa putus dan hal ini sesuai kebiasaan orang cina yang pergi merantau jauh tetapi tidak memutuskan hubungannya dengan keluarga dan kerabatnya bahkan dengan leluhurnya (Zuriati, 2008). Berdasarkan falsafah ini orang Minang sangatlah menjaga hubungan dengan kerabatnya termasuk pada induak bako atau anak bakonya.

    Tali kekerabatan induak bako dan anak pisang merupakan hubungan antara seorang anak dengan saudara perempuan bapaknya atau hubungan seorang perempuan dengan anak dari saudara laki-lakinya (Navis, 1984). Jadi semua saudara perempuan dari ayah merupakan induak bako dan semua anak dari saudara laki-laki merupakan anak pisang. Dalam kata lain di daerah nagari Iv Koto Aur Malintang dan sekitarnya induak bako juga disebut sebagai “mandeh” dan saudara laki-laki dari ayah disebut dengan “apak”.

    Hubungan yang menonjol induak bako dengan anak bako dapat kita lihat pada saat dimana anak bako tersebut melaksanakan upacara pernikahan. Minangkabau yang memiliki sistem matrilineal membuat seorang anak kurang mendapat perhatian dari induak bako karena tinggal di rumah ibu atau kaum yang membuat seorang anak lebih banyak berhubungan dengan keluarga ibu. Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan seorang anak tidak mendapat pendidikan dari pihak induak bako.  Hal ini dinyatakan oleh Navis (1984:225) bahwa seorang anak mendapat pendidikan dari bako disamping dari pihak ibunya sendiri.

    Di minangkabau sudah memiliki tatanan yang bagus hal ini dapat dilihat pada hubungan kekerabatan, termasuk hubungan kekerabatan induak bako. Sebuah tradisi yang memperelat hubungan antara induak bako dan anak pisang ini adalah pemberian anak jawi kepada anak bako. Pemberian jawi kepada anak bako merupakan tradisi yang berlaku di daerah kec. Iv Koto Aur Malintang. Hal ini biasanya dilakukan pada saat anak bako atau anak pisang menikah dan menyelengarakan resepsi pernikahannya. Tradisi ini sudah berlaku sejak 1960-an yang pada awalnya pemberian dari mandeh kepada anak pisang hanya berupa uang, perhiasan emas dan kain untuk perlengkapan sesudah menikah saja dan perlengkapan hanya bersifat sementara dan tidak dapat dilihat secara terus-menerus karena letaknya harus disembunyikan. Kemudian induak bako berpikir bagaimana caranya supaya pemberian dari bako ini bermanfaat sebagai investasi bagi anak dan dapat dilihat tanpa harus disembunyikan  Maka dari itu terpikirlah untuk membelikan seekor anak jawi untuk diberikan kepada anak bako supaya dapat dipelihara sebagai investasi masa depan bagi anak bako.

    Tradisi ini bermula ketika seorang anak yang ibunya telah meninggal dan akan menikah. Kemudian seorang ayah yang sayang dengan anak yang akan menikah lalu berdikusilah sang ayah dengan saudara perempuannya degan membelikan seekor anak jawi sebagai hadiah yang akan diberikan kepada anaknya di hari pernikahannya. Setelah jawi dibeli lalu diberikan kepada anak saat acara pernikaahannya berlangsung. Lalu lama-kelamaan tradisi ini berkembang dan menjadi tradisi bagi masyarakat setempat. Seiring berjalannya waktu selain jawi, pemberian juga bisa seekor anak kerbau. Sesuai dengan hal yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1990) bahwa “masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama”.

    Pemberian bako kepada anak bako tidak hanya berupa anak jawi atau anak kerbau saja tetapi juga berupa perhiasan emas, kain batik panjang dan uang. Tradisi pemberian dari bako kepada anak pisang/anak bako ini dilakukan pada saat acara resepsi anak pisang. Anak jawi yang sebelumnya telah dipersiapkan dan diberi kain selendang bewarna merah yang kemudian dililitkan ke leher jawi atau kerbau tersebut. Induak bako biasanya datang berombongan dengan seluruh kaumnya (kaum suku) yang sebelumnya telah diundang untuk pergi berombongan ke acara perhelatan anak bako. Sebelum pergi induak bako menyiapkan bermacam makanan seperti nasi lamak, lapek, ayam singgang dan  lainnya yang akan dibawa ke tempat resepsi pernikahan anak pisang. Tibalah saatnya rombongan induak bako pergi ke tempat anak bako yang dihimbau dengan dipukulnya musik tambua tasa sebagai tanda untuk berkumpul dan sebelum pergi biasanya para induak bako dan tamu undangan sudah membuat sebuah buku catatan dari rombongan induak bako yang berisi catatan apa saja yang diberikan ke anak pisang. Biasanya induak bako kandung memberikan satu ekor sapi atau kerbau kemudian perhiasan emas, kain dan uang sebagai pemberian dari bako kandung, kemudian para tamu undangan yang satu kaum dengan induak bako yang dibawa oleh induak bako tadi juga memberikan barang baik berupa emas atau uang dan kain panjang yang dicatat dalam sebuah buku catatan. Setelah itu semua pemberian dari bako akan dihimbaukan atau disoraki di hadapan orang banyak dan mengumumkan jumlah pemberian pada saat malam terakhir perhelatan. Acara pengumuman disebut dengan “baretong” di kec. Iv koto Aur Malintang ini biasanya diadakan dihadapan para ninik mamak dan penghulu beserta para tamu undangan. Dan diwilayah kab. Padang pariaman yang lain juga disebut “badantam” Harmaini (2018).


    Foto rombongan induak bako datang

    Pemberian bako tersebut biasanya dilakukan degan mengundang orang untuk berombongan datang ke tempat pernikahan anak bako. Setelah rombongan berkumpul lalu datang ke tempat pernikahan semua pemberian yang dibawa oleh bako dan masyarakat kaum bako diberikan ke anak bako yang disambut bahagia oleh semua keluarga dan masyarakat kaum (suku) dari anak bako. Pada saat rombongan bako datang maka kaum anak bako akan menanti dengan silek galombang dan setelah itu jawi yang diarak dari rumah bako diterima oleh keluarga anak bako. Sebelum semua rombongan induak bako menuju ke halaman akan ada sebuah carano yang berisi lengkap dengan alat menyirih sebagai lambang bahwa kaum anak bako memiliki lembaga adat ninik mamak yang memayunginya. Hal yang unik pada rombongan induak bako ini biasanya yang didahulukan adalah para kaum wanita (mandeh) yang dibelakangnya baru diikuti kaum lelaki (apak). Setelah semua bako (apak mandeh) datang yang pertama kali masuk ke ruangan untuk menikmati hidangan acara perhelatan adalah para wanita juga setelah itu baru para pria. Pada saat kaum pria masuk barulah dimulai beberapa acara adat yaitu makan bajamba yang diawali dengan pasambahan siriah pinang kemudian pasambahan makan. Pasambahan atau sambah-manyambah ini dilakukan oleh para lelaki ninik mamak dari kaum anak bako dan para lelaki kaum  niniak mamak, penghulu beserta apak mandeh.


     

    Foto penyambutan rombongan induak bako dengan sebuah carano dan induak bako masuk ke dalam rumah

    Dalam pasambahan tersebut perwakilan dari induak bako apak mandeh menyampaikan apa saja hadiah atau pemberian untuk anak bako, sebagian isi dari pasambahan tersebut berbunyi :

    “karano lah dapek kato ciek bana sabuah ateh namo bapak dengan mandeh, kok manyilau anak, sabalunnyo kami carian aie agak sagaluang, api sapuntuang, lalu bakumpua-kumpua kami, dikumpuan pitih agak sagadang sakepeang, kok balabiah dibalian ka nan gadang kok ndak sampai, dibalian ka nan ketek kok balabiah, dibalian ka anak bilalang, anak jawi dinamokan, kok balabiah pitih dari pambalian jawi, dibalikan baju nan sahalai kok kain nan sacabiak, barang agak sagilie, kok baagiah ka anak pitolong ka nan pangka, untuang manjadi safaat dek anak”.

    Arti dari sebagian isi pasambahan tersebut menjelaskan apa saja yang dibawa oleh induak bako ke tempat anak bako. Jawi yang diberikan didalam pasambahan disebut sebgai anak bilalang sebagai kata kiasan dalam pasambahan tersebut. Pengunaan bahasa didalam pasambahan yang tinggi makna tersebut disampaikan dengan cara menyusun jari dan megangkat tangan.

    Anak jawi yang dikalungi dengan selendang berwarna merah melambangkan bahwa jawi tersebut berasal dari induak bako (mandeh) yang bearti adanya pertalian darah yang kuat antara mandeh dan anak bako. Tradisi pemberian jawi ini sesuai dengan falsafah yang berbunyi

    “pucuak paku, kacang balimbiang

    Tampuruang lengang-lenggokan

    anak dipangku, kamanakan dibimbiang

    urang kampuang dipatengangkan”

    Artinya bahwa seorang anak diibaratkan bagian lunak yang ada di dalam lekukan paku, dilindungi oleh bagian luar lekukan yang agak keras sampai bagian dalam sudah jadi maka lengkungan paku membuka perlahan. Sama halnya seorang anak haruslah dilindungi dan dijaga sampai ia bisa berdiri sendiri.

    Tujuan dari tradisi pemberian dari induak bako yaitu sebagai bentuk kasih sayang kepada anak bako yang merupakan anak dari saudara laki-laki kandung sekaligus sebagai sarana untuk mempererat tali silaturahmi antara keluarga bako dan keluarga anak bako. Taradisi ini tidak hanya menjalin hubungan dengan keluarga saja tetap sebagai wadah untuk menjalin hubungan antar sesama masyarakat di antara dua kaum. Dalam pernikahan adat Minnagkabau tidak hanya urusan antar keluarga pengantin saja tetapi juga senua kaum memiliki hubungan dengan pengantin baik itu kaum suku dan masyarakat. Sesuai pernyataan Navis (1984:221) bahwa perkawinan bukan semata-mata hubungan antara dua orang individu tetapi juga antara hubungan antara kerabat dan bahkan hubungan antara seluruh kerabat yang telah berhubungan karena perkawinan.

     

     

    Referensi:

    Navis, A.A. 19864. Alam Takambang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau.    Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya

    Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

    Endaswara, Suwardi. 2003. Metodelogi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

    Sulasman dan Gusmilar, Setia. 2009. Teori-Teori Kebudayaan: dari Teori Hingga            Aplikasi. Bandung: CV Pustaka Setia

    Zuriati. 2014. Dunia Pernaskahan Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Sempu.

    Triana Dewi, Mesy (2019) “ Tradisi Babako Dalam Perkawinan Di Nagari Limau            Puruik Kecamatan V Koto Timur Kabupaten Padang Pariaman” (Skripsi). Padang :    Jurusan Sastra Daerah Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas.

    Harmaini, Wita. (2018) Tradisi Badantam Dalam Alek Perkawinan di Kampung Kandang            Pariaman Timur” (Skripsi). Padang : Jurusan Sastra Daerah Minangkabau Fakultas   Ilmu Budaya Universitas Andalas.

    Ria Novita Sari. 2015. Fungsi Tradisi Manjapuik Anak Pisang (Anak Daro) dalam           Upacara Perkawinan di Nagari Punggasan Kabupaten Pesisir Selatan. Padang:       Skripsi Jurusan Sosiologi STKIP PGRI SUMBAR

    Wawancara kepada pelaku budaya bapak ladang di Koto Randa Aur Malintang pada 25 februari 2020

     

     

     

     

     

  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.